Kelahiran dan Garis Keturunannya
Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 185 H/801 M menurut data yang paling akurat.
Al-Kindi berdarah bangsawan, dimana silsilah keturunannya kembali kepada Ya’rab bin Qahthan, dimana keturunannya menjadi pemimpin bangsa Yaman. Mereka adalah Saba’, Kahlan, Harits, dan lain-lain hingga sampai pada Asy’ats bin Qois yang semasa dengan kemunculan Islam. Asy’ats sempat mendatangi Rasulullah saw. dan menjadi pimpinan rombongan rakyatnya. Ia sendiri masuk Islam di hadapan Rasulullah saw. Ada cerita menarik tentang Asy’ats, yaitu ketika ia mendatangi Rasulullah saw., ia membawa serta delapan puluh tunggangan dari kabilah Kindah, lalu mereka menemui Rasulullah saw. yang sedang berada di dalam masjid. Rombongan itupun mulai melantunkan bait-bait syairnya, memakai celak di mata mereka, dan mengenakan sorban yang terbuat dari sutra. Lantas Rasulullah saw. bertanya kepada mereka, “apakah kalian belum masuk Islam?” kemudian Asy’ats segera menjawab, “sudah!” Rasulullah saw. lanjut bertanya, “kalau begitu, kenapa sutra itu masih ada di leher kalian?” seketika itu juga Asy’ats dan diikuti anggota rombongannya segera merobek kain sutra yang sedang dikenakan itu lalu mencampakkannya begitu saja.
Sepeninggal Rasulullah saw., kabilah Kindah termasuk diantara kabilah Arab yang murtad dari Islam. Banyak diantara mereka yang terbunuh dalam perang melawan kemurtadan maka Asy’ats bin Qois bersama sekelompok teman-temannya keluar untuk meminta suaka. Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq pun menerima taubat mereka dan memaafkannya. Setelah itu, khalifah menikahkan Asy’ats dengan saudarinya yang bernama Ummu Farwah. Dari perkawinannya dengan saudari Abu bakar itu, Asy’ats memiliki seorang putra yang bernama Muhammad. Muhammad inilah yang menjadi kakek keempat dari al-Kindi.
Adapun Asy’ats sendiri, ia sungguh-sungguh menjalankan ajaran Islam setelah bertaubat dari kemurtadannya. Ia juga turut serta dalam berbagai ekspedisi penaklukan Islam dan berhasil meraih kemenangan dalam perang Yarmuk di kota Syam dan perang Qodisiyyah di Irak, juga perang-perang lainnya, seperti perang Jalul, Madaain, Nahawand, dan Shiffin. Asy’ats juga termasuk dalam rombongan yang diutus oleh Sa’ad bin Abi Waqash untuk menemui raja Persia Yazdajard dan menyeru raja itu untuk masuk Islam atau perang.
Akhirnya, Asy’ats lebih memilih menetap di Kufah dan membangun sebuah rumah yang menjadi tempat tinggal keluarga al-Kindi nantinya.
Keluarga besar al-Kindi tetap tinggal di Kufah selama beberapa waktu sampai akhirnya al-Kindi meninggalkannya dan memilih pergi ke kota Baghdad.
Sepeninggal Asy’ats, sangat sulit bagi putranya, Muhammad untuk mewujudkan keinginan besar ayahnya itu, yaitu mempertahankan kekuasaan karena bani Umayyah telah menguasai pemerintahan. Sebab, Muawiyah bin Abi Sufyan telah memenjarakan pemimpin mereka selama masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih dua puluh tahun. Namun, ketika Yazid bin Muawiyah memimpin, ia memberikan kesempatan kepada Muhammad bin Asy’ats untuk mewujudkan cita-citanya dalam meraih kekuasaan. Akhirnya, Muhammad memilih bergabung bersama Abdullah bin Zubair dalam aksi perlawanan yang dilakukan melawan kekuasaan bani Umayyah. Muhammad dipercaya untuk memerintah daerah Mosul meski hanya dalam waktu yang sangat singkat karena situasi politik di daerah itu tidak stabil dan kekuasaan Muhammad bin Asy’ats berakhir setelah ia terbunuh dan rumahnya dihancurkan.
Setelah terbunuhnya Muhammad bin Asy’ats, cita-cita untuk memimpin dan berkuasapun akhirnya pindah ke putranya, Abdurahman bin Muhammad. Dia mampu mewujudkan beberapa ambisi kekuasaannya itu ketika Hajjaj mengangkatnya menjadi pegawainya di daerah Sijistan, juga sebagai komandan tentara dua kota, Bashrah dan Kufah. Namun, Abdurahman tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada maka ia pun memilih untuk memberontak kepada Hajjaj dan sempat berhasil menguasai Bashrah. Peperangan diantara dua komandan besar itupun meletus selama tiga tahun dan harus berakhir ketika Abdurahman berhasil dibunuh. Ia diduga telah bunuh diri dengan cara menjatuhkan dirinya dari atap istananya sendiri dan langsung meninggal dunia. Setelah itu, cita-cita untuk memimpin terkubur bersama kematiannya selama sisa pemerintahan bani Umayyah.
Barulah setelah runtuhnya kekuasaan bani Umayyah dan giliran bani Abbas yang berkuasa, anak-anak keturunan Asy’ats mampu mendapatkan kembali sebagian kekuasaan mereka. Mereka berhasil duduk di sejumlah posisi penting, seperti gubernur, penguasa, dan polisi. Diantara mereka adalah Ishaq bin Shabah, ayah Ya’qub al-Kindi. Ia berkuasa di daerah Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi, salah satu khalifah bani Abbas. Disamping itu, Ishaq juga pernah menjabat sebagai polisi pada dua masa pemerintahan; al-Hadi dan Harun ar-Rasyid. Ishaq sebagaimana kebiasaan para penguasa Kufah, ia tinggal di dalam istana penguasa yang terletak di belakang masjid utama. Istana itu masih tetap ada hingga sekarang. Di dalam istana penguasa itulah Ya’qub al-Kindi dilahirkan.
Ishaq bin Shabah meninggal di akhir masa-masa pemerintahan Harun ar-Rasyid, sedangkan Ya’qub sendiri masih kecil. Akhirnya, ibunda Ya’qub bersama putra dan anggota keluarganya yang lain keluar dari istana dan kembali lagi ke rumah lama di Kufah. Di rumah itulah al-Kindi menghabiskan masa-masa kecilnya.
Pertumbuhan dan Kegiatan Belajarnya
Meskipun al-Kindi tumbuh sebagai seorang anak yatim, tetapi ia hidup dalam kemewahan dan kemegahan. Ia mewariskan sebuah rumah yang sangat besar seperti layaknya seorang penguasa. Sebagaimana pikirannya juga selalu disisipi untuk mendengarkan silsilah keturunannya, yaitu apa yang diceritakan dari orang tuanya bahwa nenek moyangnya adalah termasuk raja-raja di Yaman. Nenek moyangnya itulah yang sangat berambisi terhadap kekuasaan dan kedudukan. Karena itulah, sangat tidak aneh bila al-Kindi bisa bergaul dengan para khalifah dan berbicara dengan mereka. Apalagi setelah al-Kindi memperoleh kedudukan yang tinggi dari sisi keilmuan dan pengetahuan. Selain itu, al-Kindi banyak dikenal para khalifah sebagai orang yang mampu memacu semangat para ulama dan pemikir, seperti kisah al-Ma’mun yang diceritakan oleh al-Mas’udiy, “al-Ma’mun biasa mengadakan diskusi tentang fiqih pada setiap hari selasa. Jika para ahli fiqih telah datang, begitu juga para lawan diskusinya maka hamparan permadani segera dibentangkan. Setelah itu, Ma’mun masuk dan segera berkata, “lepaskan sandal-sandal kalian!” Kemudian, Ma’mun mendebat mereka dengan baik, adil, dan tidak memaksa. Diskusi itu terus berlangsung hingga matahari terbenam.”
Al-Kindi mempelajari ilmu-ilmu pertamanya, seperti membaca, menulis, ilmu nahwu, menghafal Al-Qur’an, beberapa hadits, sejumlah bait syair, juga belajar ilmu balaghah. Ilmu-ilmu tersebut biasa dipelajari oleh anak-anak kecil ketika mereka masih belia. Data-data sejarah tidak menyebutkan secara lengkap masa kepindahan al-Kindi dari kota Kufah menuju Baghdad atau apakah al-Kindi menerima pelajaran dan menimba ilmunya ketika ia berada di Kufah ataupun di Baghdad.
Namun, apapun realitanya, telah diketahui sejak kecil bahwa al-Kindi sangat tertarik pada ilmu dan pengetahuan. Ia selalu mengikuti metode para penguasa dan pemimpin agar mampu meningkatkan kedudukan mereka. Al-Kindi juga selalu meniru mereka untuk menguasai berbagai cabang ilmu dan mengoleksi banyak buku.
Setelah al-Kindi menguasai ilmu kalam, barulah ia mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Ia mulai membaca ilmu kedokteran dari buku Abiqrath dan sekolah kedokteran juga telah didirikan walau masih dengan cara pengobatan alamiah, juga buku Galinus yang menjadi pegangan setiap eksperimennya.
Al-Kindi juga mempelajari filsafat. Seperti yang diketahui bahwa bangsa Arab mewarisi ilmu filsafat dari Plato, Aristoteles, dan lain-lainnya. Namun, pada masa itu para pelajar filsafat hanya bisa membaca buku-buku mereka saja yang telah diterjemahkan. Karena itulah, al-Kindi merasa kesulitin bila harus belajar lewat buku terjemahan maka ia lebih memilih untuk meringkas dan menafsirkan isi buku-buku terjemahan, serta sibuk mencatat dari para pakar filsafat pada masanya.
Hasrat utama al-Kindi sebenarnya adalah ilmu matematika, dimana ia sangat ahli dan menulis banyak buku tentangnya.
Adapun matematika sendiri pada waktu itu diambil dari Ekledes dan Bethlumus. Al-Kindi menganggap bahwa belajar matematika sangat penting sebelum seseorang itu belajar ilmu-ilmu filsafat. Karena dengan begitu, seorang pelajar filsafat akan mampu mempelajarinya lewat pemahamannya sendiri bukan hanya sekedar hafalan saja.
Wafatnya al-Kindi
Data-data akurat sejarah menyebutkan bahwa al-Kindi wafat pada tahun 252 H/864 M. Adapun sebab kematiannya karena ia menderita sebuah penyakit di lututnya, lalu ia mencoba berbagai macam penyembuhan namun tidak kunjung sembuh juga. Setelah itu, rasa sakit malah pindah ke kepalanya yang menyebabkannya meninggal.
Hasil Karyanya
Al-Kindi dikenal memiliki beraneka ragam hasil karya. Bahkan ada yang berkata bahwa daftar nama buku-buku al-Kindi bisa lebih dari dua belas halaman. Adapun buku-buku yang telah ditulis al-Kindi mencapai 241 buku dalam tujuh belas macam bidang ilmu, sebagaimana yang disebutkan oleh para ahli sejarah. Namun, kebanyakan dari buku-buku tersebut telah raib dan buku yang sampai kepada kita hanya berjumlah lima puluh lebih buku saja. Kebanyakan dari buku-buku itu hanya berbentuk tulisan yang tidak lebih dari beberapa puluh lembar saja. Banyak diantara tulisan-tulisan itu ditujukan untuk khalifah al-Mu’tashim ataupun putranya, Ahmad yang menjadi anak asuh al-Kindi. Tulisan-tulisan itu juga ditujukan kepada salah seorang temannya ataupun muridnya. Tujuan-tujuan tulisan ini menunjukkan ciri khusus yang membedakan tulisan-tulisan al-Kindi. Biasanya, al-Kindi memulai tulisannya dengan menyebutkan beberapa doa bagi orang yang bertanya dengan menisbatkan beberapa sifat yang pantas untuk si penanya ataupun kedudukannya. Barulah setelah itu al-Kindi akan meringkas isi pertanyaan dalam bentuk yang mirip sebagai judul dari tulisannya itu. Selanjutnya, al-Kindi memaparkan metode yang dipakai dalam membahas dan mengupas tema yang sedang dibicarakannya.
Diyakini bahwa al-Kindi menyampaikan ceramahnya kepada muridnya terlebih dahulu, barulah setelah itu keduanya berdiskusi dan membahas tema tersebut. Kemudian, sang murid mengulangi pertanyaan yang telah diajukan kepada gurunya yang mulai membukukannya dalam sebuah tulisan sebagai upaya menjawab dari pertanyaan tersebut.
Al-Kindi tidak hanya seorang pemikir yang kaya akan hasil karya dalam berbagai tema ilmu, bahkan ia merupakan pemikir Arab muslim pertama yang menyelami lautan filsafat dengan metode yang lebih baru dan unik. Ia menjelaskan pentingnya ilmu matematika dan menjadikannya hal penting dalam belajar sebelum mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Al-Kindi juga pemikir pertama yang membagi ilmu secara global dan dapat dimanfaatkan oleh orang-orang setelahnya. Ia membagi ilmu menjadi dua bagian; ilmu-ilmu filsafat dan ilmu agama.
Ilmu-ilmu filsafat menurut al-Kindi mencakup matematika, logika, ilmu alam, metafisika, akhlak, dan politik. Adapun ilmu agama hanya membahas dasar-dasar agama, keyakinan, dan ketuhanan.
Al-Kindi juga berbeda dengan Aristoteles dalam membagi ilmu-ilmu alam, karena ia membaginya menjadi dua bagian.
Pertama, apa yang tersusun dari materi dan gambar, yaitu tubuh.
Kedua, apa yang berdiri sendiri dan tidak butuh pada tubuh, namun dapat ditemukan bersama dengan tubuh, terhubung dengannya lewat salah satu kepentingan, yaitu hal yang berhubungan dengan ilmu kejiwaan.
Al-Kindi juga dianggap sebagai orang pertama yang membuat kaidah dan dasar ilmu musik. Ia mempermudah jalan sejumlah ulama dan pemikir yang datang setelahnya seperti al-Farabi dan Ibnu Sina.
Adapun hal yang membangkitkan perhatian al-Kindi terhadap ilmu musik adalah hubungan eratnya dengan ilmu matematika. Disamping perhatian umum pada masa itu kepada musik dan nyanyian, dimana muncul Ishaq al-Moshuliy dan Ibrahim al-Moshuliy, dan lainnya. Karena itu, al-Kindi menjadi orang pertama yang memiliki sekolah musik dalam Islam, sebagaimana halnya Ishaq al-Moshuliy menjadi pemilik pertama sekolah nyanyi.
Al-Kindi juga merasakan masa dimana terjadi pertikaian sengit yang terjadi diantara para ilmuwan perihal kemungkinan merubah bahan tambang murah menjadi emas.
Ia menolak keras pemikiran seperti di atas, lalu menulis dua tulisan tentang pemikiran yang berisi penolakan atas klaim tersebut. Ia menegaskan kemustahilan menciptakan bahan tambang yang tidak ada di alam, ataupun merubah satu jenis bahan tambang menjadi jenis lainnya yang berbeda secara alamiah.
Adapun tentang jiwa, al-Kindi menghimpun antara pendapat aliran Plato yang mengatakan bahwa jiwa sebagai sumber pengetahuan dengan ditambah pendapat Aflutin yang mengatakan bahwa jiwa bersumber dari akal pertama yang muncul dari aksinya dan merupakan pemberian Tuhan.
Al-Kindi mengungkapkan pendapatnya ketika ingin berbicara tentang pengetahuan seraya berkata, ‘jiwa merupakan pancaran cahaya ilahi yang mampu mencapai ilmu dengan tidak bergantung pada dunia, serta mampu melihat dan mencari hakikat.’
Dengan pendapatnya itu, al-Kindi berusaha menguatkan pendapat filsafat dan mendukung keutamaannya. Ia juga berusaha mempertemukan antara agama dan filsafat, serta berusaha menemukan jalan untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut yang dapat disetujui oleh agama dan diterima oleh akal.
Dengan begitu, al-Kindi merupakan pemimpin filsafat Islam dengan metodenya yang seperti itu. Ia juga pemimpin berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya sehingga ia pantas untuk dijuluki sebagai ‘filsuf Arab’. Al-Kindi merupakan pemikir Arab muslim pertama yang diberi julukan seperti itu. Disamping ia juga menjadi lambang penting pemikiran dalam sejarah peradaban, keilmuan, dan kebudayaan bangsa Arab.
al-Kindi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar