Bid'ah Dalam Tasawuf

Pertama : Pengertian Bid’ah
Bid’ah menurut bahasa memiliki dua makna :
1. Sesuatu yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya dari orang yang membuat dan memulai, seperti yang terdapat dalam Lisnul Arab : ba-da-‘a asy-syai' wa yabda'uhu wa ibtada'ahu mempunyai makna ansya-ahu (membuat sesuatu) dan bada-ahu ( memulainya ).
Termasuk pengertian di atas, firman Allah swt:
بد يع السماوات والارض[1]
"Allah Pencipta langit dan bumi."
2. Bermakna letih dan lelah. Dikatakan: “abda’at an-naaqatu` “ (unta itu letih) jika berhenti dalam perjalanan karena dari kurus atau sakit atau lelah. Kata abda’at berarti letih atau lesu. Makna ini kembali ke makna yang pertama, seakan-akan letih membuat unta itu berhenti dari kebiasaannya berjalan atau membuat sesuatu yang keluar dari kebiasaan[2]. Bid’ah adalah isim hay`ah ( nama bentuk ) dari al-Ibtida’ (penciptaan) yaitu segala sesuatu yang dibuat tanpa ada contoh sebelumnya.

Bid’ah menurut istilah agama
Ulama berbeda pendapat dalam membatasi makna bid’ah menurut istilah. Sebagian ulama dari mereka meluaskan dalam pembatasannya sehingga maksudnya dan apa yang terkandung dalam kata bid'ah menjadi meluas. Metode ini digunakan oleh beberapa ulama yang memiliki kedudukan keilmuan yang tinggi seperti:: Imam asy-Syafi’i, Ibn al- Atsir, Imam al-Ghozali, al-’Izz Ibn ‘Abd As-Salam, Al-qurofii dan an-Nawawi. Mereka berkata: "Semua yang dibuat setelah zaman Rasulullah Saw adalah bid'ah, baik itu bid'ah yang terpuji atau tercela.
1. Imam asy-Syafi’i : Membagi bid’ah menjadi baik dan tidak baik, terpuji dan tercela, dan ini menurut Imam asy-Syafi’I meliputi semua yang dibuat setelah zaman Rasulullah Saw dan zaman Al-Khulafa' Ar-Rosyidin. Harmalah ibn Yahya berkata: "Saya mendengar Asy-Syafi’I Rahimullah berkata : “ Bid’ah itu ada dua : bid’ah mahmudah ( terpuji ) dan madzmumah (tercela ). Apa yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah mahmudah, dan yang bertentangan dengan Sunnah adalah bid’ah madzmumah."[3]

2. Ibnul Atsir juga berkata: ” Bid’ah itu ada dua: bid’ah Huda ( petunjuk ) dan Bid’ah Dholalah ( kesesatan ). Bid’ah Huda adalah segala yang disunatkan dan dianjurkan oleh Allah swt atau Rasul-Nya Saw. Sedangkan bid’ah dholalah adalah segala yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah swt dan Rasul-Nya Saw dan sesuatu yang belum ada contohnya."

3.Imam Al-Ghozali berkata: “Apa yang dikatakan dibuat setelah masa Rasulullah Saw dan tidak semua yang dibuat setelah masa Rasulullah saw dilarang. Namun yang dilarang adalah bid’ah bertentangan dengan sunnah yang telah tetap, dan mengangkat perkara dari syara' sedangkan perkara itu telah tetap. Bahkan membuat bid'ah itu wajib pada beberapa keadaan jika sebab-sebabnya berubah.[4]

4. Al-'Izz bin ‘Abdussalam : Bid’ah adalah suatu fi’il (perbuatan ) yang tidak ada pada masa Rasulullah Saw.[5]

Berdasarkan semua pendapat di atas, maka dapat dibuat satu definisi sebagai berikut bid’ah adalah tambahan dalam agama, atau pengurangan darinya yang keduanya terjadi setelah zaman Nabi saw tanpa adanya izin dari syara' baik berupa ucapan, perbuatan, penjelasasan maupun isyarat bagi orang yang bukan mujtahid.
Pengertian ini mencakup seluruh perkara-perkara agama dan tidak mencakup adat kebiasaan karena bid’ah hanya terjadi dalam masalah agama. Dalilnya adalah:
Sayyidah ‘Aisyah Ummul Mu`minin dari Rasululullah Saw berkata: "Barang siapa yang membuat-buat di dalam perkara kami ini (agama) yang bagian darinya maka dia ditolak." Dalam lafadz lain : "Barang siapa berbuat suatu perbuatan yang bukan atas perkara kami maka dia ditolak."[6]
Sebagian ulama ada yang menyempitkan maksud bid’ah dan gambaran-gambaran serta hukum-hukum yang termasuk dibawahnya. Mereka berkata: "Bid’ah hanya ditujukan pada sesuatu yang berlawanan dengan sunnah.
Sudut pandang ini dibagi menjadi dua bagian:
Bagian Pertama : Bid’ah hanya berkaitan dengan sesuatu yang bertentangan dengan sunnah dimana bid'ah ada tanpa contoh terdahulu dalam masalah syara' baik dijadikan agama atau tidak. Di antara mereka yang menggunakaan sudut pandang ini adalah:
1.Ibnu Rajab Al-Hanbaly : Beliau berkata: "Bid’ah adalah sesuatu yang dibuat yang tidak ada dasarnya dalam syari’at, sedangkan jika memiliki dalil dari syar’i maka bukan bid’ah dalam agama.
2. Ibnu Hajar Al-‘Asqolany berkata: "Bid’ah itu asalnya apa yang terjadi tanpa ada contoh terdahulu dan dilekatkan pada syara' ( agama ) dan bertentangan dengan sunnah dan menjadi ( bid’ah ) tercela."
3.Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata: "Bid’ah itu adalah semua yang dibuat yang bertentangan dengan perintah agama dan dalilnya khusus dan umum."
4.Al-Imam Az-Zarkasy berkata: "Bid’ah dalam agama dibuat untuk peristiwa yang tercela."

Bagian Kedua, seperti:
1. Imam As-Syathiby : mendefinisikan bid’ah menjadi dua definisi :
Pertama: Bid’ah adalah metode dalam agama yang dibuat menyerupai syar’iah yang bertujuan agar mengikuti metode tersebut secara berlebihan dalam beribadah kepada Allah swt, dan pengertian ini dikhususkan dalam hal ibadah saja. Kedua : Definisi yang kedua memperhatikan masuknya adat disamping ibadah. Jadi bid'ah adalah metode dalam agama yang diciptakan menyerupai syari'ah dengan tujuan agar mengikuti metode tersebut sesuai dengan metode agama.[7]
Dan Imam As-Syathibi mengatakan dalam definisinya tentang bid’ah : "metode dalam agama" bukan metode dalam dunia seperti membuat industri dan membangun negeri dan mengatakan mukhtari’ah ( yang diciptakan ) atau yang tidak memiliki asal dalam agama dan tidak berhubungan dengannya, dan Yuqshodu Bissuluk ‘alaiha ( yang bertujuan agar mengikutinya ), agar adat keluar dari definisi bid'ah.
Al-Ikhtiro’ ( penemuan ) : memberikan sesuatu dengan yang baru, suatu hal yang tidak diketahui oleh masyarakat. Para Ilmuwan Barat yang sampai pada pembuatan pesawat, kereta api dan radio, mereka adalah pencipta, karena mereka datang dengan apa yang tidak diketahui oleh orang-orang sebelumnya. Penemuan mereka dalam bidang ini baik.
Sedangkan mereka yang membuat-buat perbuatan atau perkatakan, lalu mereka menghiasnya untuk masyarakat sampai mereka mengira itu adalah bagian dari agama, mereka itulah Al-Mubtadi’un ( pembuat-buat ) yang datang dari diri mereka sendiri dan bukan dari apa yang diturunkan Allah swt dan tidak juga apa yang diajarkan oleh Nabi-Nya saw.
Dalam hal itu mereka menggunakan dalil-dalil dari Hadist dan Atsar. Dari Sunnah :
Dari Al-‘Urbadh bin Sariyah Radiallahu ‘anhu berkata: "Suatu hari Rasulullah Saw sholat bersama kami. Kemudian beliau saw menghadap dan menasihati kami dengan suatu nasehat yang sangat indah hingga air mata kami mengalir dan hati kami bergetar. Lalu seseorang berkata: "Wahai Rasulullah, seakan-akan nasihat ini adalah nasehat terakhirmu maka apa yang kau amanahkan untuk kami?" maka Rasulullah saw berkata: "Aku mewasiatkan pada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at. Jika seorang budak dari bangsa Habsy memerintah kalian, maka orang yang hidup di antara kalian akan melihat banyak perselisihan, maka berpeganglah pada sunnahku dan sunnah Khulafa Ar-Rosyidin. Peganglah dengan kuat dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru dan setiap yang baru itu bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat."[8]
Rasulullah Saw bersabda: "Enam golongan yang aku dan Allah swt laknat dan setiap nabi akan diterima doanya. Orang yang menambah kitab Allah, orang yang mendustakan ketetapan Allah, diktator yang memuliakan orang yang dihinakan oleh Allah swt dan menghinakan orang yang dimuliakan oleh Allah swt, orang yang menghalalkan apa yang telah Allah swt haramkan, memberikan keturunanku apa yang telah Allah swt haramkan dan orang yang meninggalkan sunnahku."[9]

Dan dari Sunnah :

[A] Dari Hafsh bin ‘Umar dari Bilal, bahwa Bilal mendatangi Rasulullah saw sambil beradzan untuk sholat subuh dan Bilal menemukan Rasulullah saw masih tertidur. Lalu Bilal berkata: "Sholat itu lebih baik dari tidur", sebanyak dua kali. Lalu Rasulullah saw berkata : “Betapa indahnya kalimat ini. Jadikan itu dalam azdanmu."[10]

[B] Diriwayatkan dari Rofi’ Az-Zarroqi, dia berkata : “ Suatu hari kami sholat dibelakang Nabi Saw. Ketika Rasulullah saw mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau saw berkata:
سمع الله لمن حمده , Lalu lelaki dibelakang Rasulullah saw menjawab :
ربنا ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه
Setelah selesai, Rasulullah saw bertanya: "Siapa yang tadi berkata?" Lelaki itu menjawab: “Saya “, lalu Rasulullah saw berkata: “ Saya melihat sebanyak tiga puluh-an malaikat berlomba agar bisa paling awal menulisnya."[11]

[C] Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’anul Karim, yang mana belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah saw.[12]

[D] ‘Umar mengumpulkan para sahabat untuk mengerjakan Sholat Tarawih dan ‘Umar berkata mengenai sholat tarawih “ Alangkah bagusnya bid'ah ini."[13]

Kedua : Pembagian Bid’ah
Ulama membagi bid’ah menjadi beberapa bagian dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda. Ada yang membaginya kepada haqiqiyah ( sebenar-benarnya ) dan idhofiyah ( tambahan ). Ada yang membaginya kepada wajib, haram, mandub ( sunnah ), makruh dan mubah. Ada juga yang membaginya menjadi ‘amaliyah ( perbuatan ), i'tiqadiyah ( akidah ) dan qauliyah ( perkataan ). Ada yang membaginya kepada tarkiyah ( yang ditinggalkan ) dan fi’liyah ( yang dikerjakan ). Ada yang membaginya kepada ‘Ibadiyah ( ibadah ) dan ‘Adiyah ( adat-kebiasaan ) dan ada yang membaginya berdasarkan waktu atau tempat seperti bid’ah Ramadhaniyah ( bid’ah pada bulan Ramadhan ) dan bid’ah Masjidil Haram dan lain sebagainya.

Pembagian Bid’ah kepada Haqiqiyah dan Idhofiyah
As-Syathibi membagi Bid’ah menjadi Haqiqiyah dan Idhofiyah.[14]
1. Bid'ah haqiqiyah adalah bid'ah yang tidak mempunyai dalil syar'i baik dari al-Quran, hadits Nabi, ijma' ulama, dalil yang biasa digunakan oleh ulama, tidak secara global atau secara terperinci. Seperti: mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram dengan bersandar pada kemiripan yang lemah seperti berinovasi dalam ibadah yang telah ditetapkan Allah swt seperti shalat zhuhur dengan dua ruku' dalam satu raka'ah atau contoh lainnya.
2. Bid'ah idhofiyah; memiliki dua cacat. Pertama: memiliki dalil-dalil yang berhubungan dengannya dan dari segi ini tidak termasuk bid'ah. Yang kedua: tidak mempunyai dalil seperti pada bid'ah haqiqiyah. Dari salah satu sisi, bid'ah idhofiyah ini sunnah karena bersandar pada dalil tapi dari sisi lain bid'ah karena bersandar pada penyerupaan, bukan pada dalil, atau tidak bersandar pada apapun juga. Dinamakan idhofiyah karena tidak lepas dari dua sisi sesuai atau bertentangan.
Kemudian beliau berkata: "Perbedaan antara keduanya dari segi makna adalah bahwa dalilnya berdiri di atas keaslian, dari segi tata cara, keadaan atau perincian tidak ada, sedangkan semuanya amat diperlukan karena biasanya jatuh pada ibadah, bukan murni pada adat. Seperti berpuasa pada hari Jum'at disunatkan sedangkan syari'at tidak mengkhususkan satu waktu untuk berpuasa sunat kecuali larangan untuk tidak berpuasa pada dua hari raya atau menganjurkan untuk berpuasa pada hari 'Asyura'. Jika hari Jum'at atau hari lainnya dikhususkan bukan dari segi yang telah dikhususkan syara' serupa dengan dengan seorang pembuat hukum yang mengkhususkan beberapa hari saja. Maka pengkhususan dari mukallaf termasuk bid'ah karena dia membuat syari'at tanpa sndaran. Contoh lainnya seseorang mengkhususkan hari tertentu untuk sholat, mengkhususkan berzikir dengan kalimat Laa ilaaha illallaah pada waktu ashar di hari Jum'at secara berjama'ah sebanyak seribu kali dan mengkhususkan qiyamullail pada beberapa malam saja. Pengkhususan ini bida'h, tetapi ada yang melihatnya sebagai bid'ah yang bisa diterima.

Pembagian bid'ah kepada bid'ah wajib, mandub, haram, makruh dan mubah
Imam an-Nawawi dalam syarah Muslim berkata: "Ulama berkata: "Bid'ah itu ada lima bagian: 1. wajib, 2. mandub, 3. haram, 4. makruh dan 5, haram. Bid'ah yang wajib seperti mengajarkan dalil-dalil mutakallimin untuk menolak paham atheis. Bid'ah yang mandub seperti mengarang kitab keilmuan dan membangun sekolah. Bid'ah yang mubah seperti berkreasi dalam membuat makanan. Bid'ah yang haram dan makruh sudah cukup jelas.
Pembagian bid'ah kepada 'amaliyah dan i'tiqadiyyah
1. Bid'ah 'amaliyyah; terjadi pada aktivitas anggota tubuh seperti bid'ah-bid'ah dalam shalat, puasa dan sebagainya.
2. Bid'ah i'tiqadiyyah; terjadi pada masalah akidah seperti mujassimah, qadariyah, wihdatul wujud atau seorang syekh bertindak sebagai wakil Allah swt di alam ini dan lain sebagainya.


Ketiga: Sebab-sebab munculnya bid'ah dan penyebarannya
Sebab-sebab munculnya bid'ah
Sebab-sebab munculnya bid'ah banyak sekali. Namun dapat kita kembalikan pada dua sebab pokok, yaitu:
1. Penambahan dalam agama
2. Pengurangan dalam agama
Penambahan dalam agama terjadi dalam bidang akidah, syari'ah dan hakikat, demikian juga pengurangan terjadi pada semua bidang tersebut. Dua sebab pokok ini memiliki cabang-cabang, antara lain:
1. Berbicara dalam masalah agama tanpa ilmu dan ucapan ini diterima atau karena bodoh dalam masalah fatwa dan pengajaran. Ini adalah hasil dari kebodohan yang memiliki banyak bentuk. Antara lain:
a. Bodoh terhadap al-Quran
b. Bodoh terhadap as-Sunnah
c. Bodoh terhadap perkataan para sahabat dan tabi'in
d. Bodoh terdahap perkataan para ulama dan orang-orang shalih dari ahli sunnah wal jama'ah
e. Bodoh terhadap gaya bahasa arab dan kebodohan lain yang membawa pada munculnya bid'ah dalam agama.
2. Mengikuti ayat-ayat mustasyabihat
3. Mengikuti hawa nafsu
4. Tunduk pada orang yang tidak ma'shum (bukan Nabi saw) dan mengambil metode yang tidak diakui oleh syari'ah untuk menetapkan hukum.

Sebab-sebab tersebarnya bid'ah
1. Orang 'alim mengerjakan bid'ah dan diikuti oleh orang awam karena mereka yakin bahwa dia hanya melakukan sesuatu yang benar.
2. Ulama berdiam diri untuk menjelaskan munculnya bid'ah sehingga orang awam menganggap diamnya itu sebagai satu persetujuan.
3. Para penguasa mengadopsi bid'ah dan menyebarkannya karena hawa nafsu mereka menyetujuinya atau mereka diam dan tidak mengingkarinya.
4. Tersebarnya bid'ah dan berubah menjadi adat membuat bid'ah sulit dihapus dan sulit berpaling darinya kecuali dengan upaya yang sangat keras.
5. Bid'ah cocok dengan hawa nafsu dan naluri manusia.[15]

Keempat: bid'ah dalam tasawuf
Bid'ah terbagi kepada 3 macam:
1. Bid'ah dalam akidah, seperti munculnya kelompok-kelompok yang sesat dan menyesatkan dalam masyarakat Islam seperti khawarij, syi'ah, murji'ah dan mu'tazilah.
2. Bid'ah dalam syari'at, yaitu dari segi halal dan haram dimana menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
3. Bid'ah dalam tasawuf (hakikat). Bid'ah yang dibicarakan dalam pasal ini adalah bid'ah dalam tasawuf. Banyak ulama yang menaruh perhatian besar kepada bid'ah yang dibuat oleh orang-oang yang mengaku sufi. Di antara mereka adalah: Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin dan al-Kasyf fii ghuruur al-khalq ajma'in. Sebelumnya Abu an-Nashr as-Siraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma' menyebutkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sufi. Di antara ulama yang menulis tentang bid'ah dalam tasawuf adalah Imam Ibn al-Jauzi dalam kitabnya Talbiis Ibliis yang agak berlebihan dalam kritiknya terhadap beberapa tema. Di antara ulama kontemporer yang mengangkat masalah ini adalah Dr. Muhammad Ahmad al-Baltaji dalam kitabnya Allahu Tauhiid dan Laisa Wihdah serta Dr. Thal'at Ghanam dalam kitabnya Adhwaa' 'ala at-Tashawwuf.
Berikut ini adalah beberapa contoh bid'ah yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sufi baik dalam masalah amal atau dalam masalah akidah[16]:
1. Meninggalkan nikah untuk beribadah. Ibnu al-Jauzi menyebutkan bahwa beberapa sufi terdahulu meninggalkan nikah karena sibuk beribadah dan mereka melihat nikah akan menyibukkan mereka dari berbuat taat kepada Allah 'azza wa jalla[17]. Tidak diragukan lagi, bahwa ini dilakukan oleh sufi bodoh saja, karena para ulama sufi berpegang pada sunnah Rasul saw. Imam al-Junaid al-Baghdadi berkata[18]: "Siapa yang tidak hafal al-Quran dan tidak menulis hadits, maka tidak boleh diikuti dalam masalah agama karena ilmu kami bersandar pada al-Quran dan sunnah." Bid'ah-bid'ah yang muncul di kalangan sufi karena kebodohan mereka. Hal ini bertentangan dengan sunnah Nabi saw yang berkata: "Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa pada Allah swt. Tetapi aku tidur dan menikahi wanita, maka siapa yang membenci sunnahku maka tidak termasuk dari umatku."[19]
2. Tidak memakan makanan yang lezat-lezat seperti daging, minum air yang segar dan dingin serta tidak tidur.[20] Tidak dapat disangkal lagi bahwa perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan Rasulullah saw hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh saja. Rasulullah saw memakan daging dan makanan lezat lainnya serta meminum air dingin dan beliau saw juga tidur.
3. Tidak sibuk mencari ilmu. Ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah yang secara tegas memerintahkan untuk mencari ilmu dan benganjurkan untuk mencarinya. Terdapat banyak al-Quran dan hadits Nabi saw dalam masalah ilmu dan mencarinya dan hanya orang-orang bodoh yang tidak sibuk mencari ilmu.
4. Membawa orang awam untuk memikirkan zat Allah 'azza wa jalla dan sifat-sifat-Nya dan ini membuat ragu. Memikirkan zat Allah itu dilarang berdasarkan sabda Nabi saw: "Pikirkanlah apa saja dan jangan memikirkan zat Allah karena antara langit yang ketujuh dan kursi Allah swt terdapat tujuh ribu cahaya dan Allah di atas semua itu."[21]
5. Meninggalkan usaha karena tawakal dan menyangka bahwa tawakal itu menafikan usaha. Perkara ini terjadi pada sebagian sufi dan Imam al-Ghazali menolak pendapat mereka. Beliau berkata: "Efek tawakal muncul dalam gerak hamba dan usahanya dalam meraih tujuan-tujuannya dengan ilmunya. Seorang hamba berusaha dengan ikhtiarnya, bisa karena mencari sesuatu yang bermanfaat yang tidak dimilikinya seperti usaha atau untuk menjaga sesuatu yang bermanfaat yang telah dimiliki seperti menabung atau menolak bahaya seperti perampok, maling dan binatang buas atau untuk menghilangkan bahaya yng telah ada seperti berobat dari sakit. Semua itu tidak menafikan tawakal.[22]
6. Lebih mengutamakan wilayah (kewalian) dari nubuwwah (kenabian). Abu Nashr as-Siraj ath-Thusi menyebutkan bahwa kelompok sufi terjebak dalam kesalahan karena kisah Musa dan Khidir 'alaihimassalaam dan akal mereka memikirkannya. Allah swt berfirman:
فوجدا عبدا من عبادنا ءاتيناه رحمة من عندنا وعلمناه من لدنا علما (الكهف: 65)
"dan mereka berdua menjumpai seorang dari hamba-hamba Kami yng telah Kami beri rahmat dan telah Kami ajarkan ilmu dari sisi Kami" (Q.S. Al-Kahfi: 65). Lalu Allahy swt berkata tentang nabi Musa as dengan pengkhususannya dalam berbicara pada Allah swt, kearsulan dan kitab untuknya.
فى الألواح من كل شيء موعظة وتفصيلا لكل شيء (الأعراف: 145)
"Dan telah kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh (Taurat) segala sesuatu sebagi pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu." (Q.S. Al-A'raf: 145). Nabi Khidir as berkata kepada Nabi Musa as:
قال انك لن تستطيع معي صبرا (الكهف: 67)
"Khidir berkata: "Sesungguhnya kamu tidak akan bisa sabar bersamaku." (Q.S.Al-Kahfi:67). Lalu Musa as berkata pada Khidir as:
لاتؤاخذني بما نسيت ولا ترهقني من أمري عسرا (الكهف: 73)
"Musa berkata: Jangan engkau hukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku dengan suatu kesulitan dalam urusanku." (Q.S.Al-Kahfi: 73) sampai akhir cerita. Kelompok sesat ini menyangka bahwa ini adalah satu kekurangan dalam kenabian Musa as dan kelebihan Khidir as daripada Musa as dalam keutamaan dan hal ini membuat mereka mengutamakan para wali dari para Nabi as.[23]
7. Pendapat mereka tentang suci dan jernih secara sempurna dan langgeng dan mereka selalu dalam keadaan itu. Mereka menyangka bahwa hamba akan bersih dari semua kotoran dan penyakit.[24]
Dalam hal ini mereka salah karena tidak pernah diserukan oleh Rasulullah saw, para sahabatnya yang mulia, para tabi'in dan para ulama yang memilii pengetahuan yang benar tentang Islam. Seorang hamba tidak bisa terus menerus bersih dari semua penyakit. Jika satu waktu dia suci, maka tetap tidak luput dari penyakit. Kesucian berada dalam hati hamba, suci dari rasa sombong, dengki, syirik dan tuduhan-tuduhan, sedangkan shafa' tidak menanggung penykit dan suci dari semua sifat kemanusiaan secara terus menerus tanpa berubah. Itu bukan sifat makhluk, karena Allah swt saja yang tidak terkena penyakit dan tidak pernah berubah.[25]
8. Pendapat yang mengatakan adanya paksaan (ijbar) dalam bergerak. Mereka mengatakan bahwa mereka dipaksa dalam gerakan mereka sehingga diri mereka jatuh dalam keburukan saat melampaui batas-batas Allah dan berselisih dengan orang. Di antara mereka ada yang terbawa pada permusuhan dan kesia-siaan dan diri mereka sangat mengharapkan bahwa hal itu dimaafkan karena mereka terpaksa melakukannya.[26]
9. Pendapat yang mengatakan bahwa Allah swt memilih beberapa tubuh untuk mengisinya dengan makna-makna Rububiyyah dan menghilangkan makna-makna kemanusiaan.[27]
10. Pendapat yang mengatakan bahwa saat mereka fana' dari sifat-sfat mereka, mereka akan masuk dalam sifat-sifat Allah swt.[28] Dua pendapat di atas membawa pada paham huluul (emanasi) dan hulul membawa kepada kekafiran.
11. Pendapat mereka tentang intiqal, ittihad, huluul dan ittishaf. Semua kata atau istilah yang beredar di kalangan sufi ini dipahami oleh sebagian orang bahwa mereka ingin segera menjelaskan kata-kata ini kepada orang awam. Jika ini motifnya, maka secara gamblang akan membawa pada kekafiran. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa di antara kebiasaan kaum sufi adalah menggunakan kata-kata dengan makna luas, melamapaui dan menggunakan isti'arah untuk membaguskan ucapan dan ini merupakan ciri ucapan mereka. [29]
12. Celotehan. Imam al-Ghazali membagi celotehan menjadi dua bagian. Yang pertama: Pengakuan-pengakuan yang panjang yang muncul dalam cinta pada Allah swt dan tidak memerlukan perbuatn zahir sehingga sekelompok orang mengaku telah bersatu dengan Allah swt, hijab telah terangkat, melihat Allah swt dengan mata dan berbicara dengan Allah swt lewat kata-kata.
Yang kedua: Termasuk dalam celotehan adalah kata-kata yang tidak dapat dipahami yang memiliki penampilan yang jelas dan di dalamnya ada kata-kata yang luar biasa dan di belakangnya tidak ada gunanya. Hal itu bisa dengan tidak dipahami dari penuturnya bahkan muncul dari kesemrawutan akalnya dan kekacauan dalam imaginasinya karena kurangnya pengetahuan akan makna pembicaraan yang mengetuk pendengarannya dn inilah yang paling banyak, atau dengan kata-kata yang dipahaminya tetapi dia tidak bisa membuat orang lain paham. Dia menyebutnya dengan ungkapan yang menunjukkan pada dhamirnya karena kurang mempraktekkan ilmu dan tidak mempelajari cara membuat kalimat dengan kata-kata yang padat. Pembicaraan seperti ini tidak ada manfaatnya karena akan mengacaukan hati dan akal serta membuat otak menjadi bingung atau membawa pada pengertian yang salah dan semua dipahami berdasarkan tujuan hawa nafsu dan tabiatnya.[30]
13. Klaim bahwa mereka memiliki ilmu kasyaf, dapat melihat Allah swt, melampaui maqam-maqam, washl (sampai), selalu berada dalam pandangan syuhud dan sampai pada kedekatan dengan Allah swt. Sampai pada Allah swt (al-wushul ila Allah) hanya diketahui dengan lafaz dan nama.[31]
14. Memberi Allah swt nama yang tidak terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah, seperti: as-Sakhi (Pemurah), Abu al-Makaarim[32] (Penderma) dan nama lain yang mereka buat.

Kesimpulan[33]
1. Yang dinamakan bid'ah hanyalah perkara amal, peristiwa baru yang tidak terjadi pada masa Nabi saw dan para sahabatnya karena inilah makna kata "ahdatsa". Adapun meninggalkan satu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi saw dan para sahabatnya tidak dinamakan bid'ah, tetapi dinamakan pelanggaran, baik sampai pada derajat pengharaman atau sebatas makruh. Tetapi, jika meninggalkan suatu perkara agama, maka menjadi bid'ah seperti orang yang mengharamkan dirinya memakan daging, bukan karena alasan alami, tetapi karena keyakinan dan meninggalkan sesuatu yang halal. Maka pengharaman memakan daging, dari sisi ini adalah bid'ah. Adapun zuhud, bersusah payah dan mementingkan akhirat tidak mengapa dilakukan.
2. Bid'ah agama terjadi pada masalah-masalah pokok yang telah disepakati. Adapun dalam masalah furu' (cabang) yang merupakan tempat ijtihad dan di dalamnya terdapat perbedaan pendapat para ulama, maka tidak layak disebut bid'ah. Para ulama berkata: "Pekerjaan yang baru jika bersandar pada ssebuah hadits, walaupun hadits itu dha'if, maka keluar dari konteks bid'ah.
3. Sesuatu yang baru yang baik untuk individu atau masyarakat, tidak layak untuk segera kita cap sebagai bid'ah dan menghukumnya sebagai sebuah kesesatan yang akan membawa ke api neraka. Tetapi, kita harus melihat terlebih dahulu kepada tidak adanya nash yang melarangnya dan kepada tidak adanya bahaya di dalamnya, lalu menghukumnya kepada hukum asal, yaitu halal dan dengan kesepakatan bahwa jika terdapat kebaikan, maka itu adalah syari'at Allah. Jika nama dari sesuatu yang baru itu menyerupai nama yang bersifat agamis, maka hendaklah kita melihat pada isi, bukan pada bungkus yang kadang masuk dalam tasybih yang bermakna majazi, bukan hakiki.
[1] Q.S. Al-Baqarah: 117
[2] Lihat Lisaan al-'arab, an-Nihaayah fii ghariib al-hadits wa al-atsar 1/106.
[3] Al-bid'ah wa mauqif al-islaam minhaa, Dr. 'Izzat 'Athiyyah, hal. 195 dan lihat hilyah al-auliyaa' 9/113.
[4] Qawaa'id al-hukkam jilid 2 hal 204
[5] Ihayaa' uluumuddin, al-Ghazali, jilid 2, hal. 2
[6] H.R.Muslim
[7] Al-I'tisham, Asy-syathibi, hal. 73
[8] H.R. Abu Dawud dan lainnya
[9] H.R. At-Turmudzi, al-?Hakim dan dia menshahihkannya
[10] H.R. Ath-Thabrani
[11] H.R. Bukhari
[12] H.R.Bukhari
[13]H.R.Bukhari
[14] Al-I'tisham, asy-Syathibi, jilid 2, hal 13
[15] Lihat al-bid'ah tahdiiduhaa wa mauqif al-islaam minhaa, karangan Dr. Ali 'Izzat 'Athiyyah hal 493-497
[16] Lihat: naqd al-'ilm wa-al-'ulama' atau talbiis ibliis karangan Imam Ibnu al-Jauzi, lhyaa' uluumuddin dan al-maqshad al-asna karangan al-Ghazali dan al-luma' karangan Abu Nashr as-siraj ath-thusi
[17]naqd al-'ilm wa-al-'ulama' , hal 285
[18] Ar-risaalah al-qusyairiyyah, jilid 1, hal 134
[19] H.R.Bukhari dan Muslim
[20] naqd al-'ilm wa-al-'ulama' atau talbiis ibliis karangan Imam Ibnu al-Jauzi, hal 203
[21] Al-jaami' ash-shagiir, karangan Imam as-Suyuthi, jilid 1, hal 132
[22] Ihyaa' uluumuddin, karangan al-Ghazali jilid 4 hal 258-257
[23] al-luma' karangan Abu Nashr as-siraj ath-thusi, hal 535
[24] Ibid, hal 547
[25] ibid
[26] Ibid, hal. 549
[27] Al-Luma', hal 541
[28] Ibid, hal 552
[29] Al-maqshad al-asna, karangan imam al-Ghazali, hal 245 dan 252
[30] Ibid, jilid 1, hal 36,37
[31] Al-kasyf wa at-tabyiin fii ghuruur al-khalq ajma'in dalam majmu' rasaail Imam al-Ghazali hal 181, 182
[32] Al-ibda' fii madhaar al-ibtida' karangan Syekh Ali Mahfuzh, hal 313
[33] Haadzaa bayyan li an-naas, lajnah dari al-azhar, jilid 1.

0 komentar: