Islam –di samping- berdiri di atas akal, pemikiran, kemurnian riset serta anjurannya -sebagai aktifitas dan perenungan- terhadap hubungan material dan immaterial dengan alam semesta, Ia juga sebuah agama yang mengikat berbagai hubungan tersebut dengan hati kesadaran dan emosional yang bergairah, menjadikan iman sebuah emosional-spiritual yang memancarkan cinta dan ketaatan, di samping bahwa Iman itu sebuah visi yang ditandai kelurusan dan kebenaran. Islam yang sempurna bukanlah sebuah teori ilmiah atau ekonomi, juga bukan sebuah ide bebas Tuhan seberapapun kebenaran konsep dan konklusi ide tersebut. Ia adalah sebuah hati yang terbuka kuncinya, luas cakupannya dan telah memancarkan makna cinta di sekitarnya; Ia juga sebuah pertalian dengan Allah, perenungan terhadap tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta; sebuah cinta kepada keluhuran serta benci kepada kebejadan; dan terbentang bersama setiap kebaikan serta menyempit bersama setiap keburukan. Allah swt telah menyapa orang-orang beriman dari para sahabat Rasulullah saw dengan Firman-Nya: “..tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, sebagai karunia dan nikmat dari Allah..”. (QS. 49:7-8). Maka sungguh sangat imposible adanya pemisahan (illumination) antara pencerahan ide dan bimbingan spiritual. Yah.. realitanya masih ada manusia yang memliki akal cerdas namun prilakunya rendah, kita tidak meragukan bahwa mereka itu sakit, dan penyakit yang menimpa mereka beragam tingkat keburukannya. Semestinya bahwa seorang yang mengetahui kriteria api, ia akan jauh menghindar, akan tetapi kita melihat bahwa sebagian orang mengenal betul sebuah kebaikan, kemudian prilakunya seolah-olah sebagai seorang yang benar-benar bodoh. Kontradiksi ini adalah semacam penyakit gila yang kita saksikan di mana-mana dan bukan di RS jiwa. Penyakit gila setengah inilah yang telah disinggung dalam Al-quran ketika tengah mencaci ulama yang buruk. Firman-Nya: “Mengapa kamu suru orang lain (mengerjakan) kebaktian,, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab, maka tidaklah kamu berpikir?”. (QS. 2:44) Agama yang hak adalah obat untuk semua penyakit ini, karena ia sebuah akal yang lurus sekaligus spiritual yang hidup. Adapun penimbunan teori serta kepapaan spiritual yang luhur dan kemiskinan emosional mulia sekali-kali bukanlah sebuah agama yang sah. Maka pertanyaan yang ingin kita jawab adalah: 1. Bagaimana kita merealisasikan agama ini? 2. Bagaimana kita menghidupkan di dalam hati perasaan akan keperkasaan Allah swt dan ketundukan terhadap keagungan-Nya? 3. Bagaimana kita membuat keyakinan berubah dari dangkal menjadi dalam? 4. Bagaimana kita merubah ma’rifat kepada Allah menjadi sebuah rasa manis (dzauq) dan membentuk kelembutan jiwa sekaligus membersihkan kekeruhan intuisi? 5. Bagaimana kita membuat perasaan rindu seseorang kepada Penciptanya, karena dengan motif dari perasaan rindu dapat membuat ia taat dan segera mencari keridlaan-Nya? 6. Bagaimana seorang itu dapat menyaksikan Allah di langit dan bumi, menyaksikan nama-nama-Nya yang indah pada gerak gerik dan seluruh tingkah laku yang terjadi di sepanjang waktu dan tempat? Sebab iman tidak sempurna dan agama tidak produktif melainkan jika kita dapat menjawab dengan baik pertanyaan di atas. Kita faham bahwa ilmu-ilmu Syari’ah dapat membantu menjelaskan misi Islam dan memposisikan manusia pada batas-batas dan hak-haknya, namun kira-kira ilmu manakah yang memberikan perhatian terhadap pertanyaan tersebut serta membahas jawabannya secara panjang lebar..? Siapapun boleh menolak untuk masuk ke dalam kelompok tasawuf serta mengambil seluruh isi jawaban di atas, akan tetapi sikap adillah yang mendorong kita untuk mengatakan bahwa sector pendidikan (spiritual) Islam penting ini tidak mendapat perhatian yang patut dari mayoritas ulama fikih dan para teolog, sedang tokoh-tokoh tasawuf –walaupun terdapat beberapa kesalahan- merekalah yang banyak membicarakan panjang lebar sector ini, bahkan memberikan jawaban detail dan tuntas Sebenarnya nama dan istilah tidak begitu penting, melainkan yang penting bagi kita adalah tema dan merancang kontruksi jiwa di atas ketaqwaan, menentramkannya di dunia ini dengan dzikir kepada Allah dan mengilhami cara mempersiapkan diri untuk berjumpa kepada-Nya dengan hati yang jernih, desir keinginan yang dalam serta bibir yang tersenyum. Coba kita tanyakan diri kita sendiri, apakah sumber kultur khusus kita?, Kultur khusus dan kultur tradisional umat Islam tentu bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Di atas dua sumber ini ilmu-ilmu agama berdiri dan kepada dua sumber ini pula pengetahuan dan berbagai seni kehidupan bersandar. Ulama kita dahulu menghimpun antara keluasan ilmu pengetahuan dan kejujuran hubungannya kepada Allah swt, para generasi yang mendengar langsung dari mereka telah mendapat pelajaran dua hal: kesegaran hati yang bertawajuh kepada Allah swt dan kecemerlangan fikih yang menyinari jalan menuju kepada-Nya. Mereka adalah para ulama sekaligus dalam waktu yang sama sebagai para murabbi. Seperti Imam Al-Bukhari misalnya, betapa kita sangat mengagumi beliau dengan karya Hadisnya yang terbesar, di mana beliau telah memulai menulis kitab sahihnya dengan Hadis: “Innamal’amaalu binniyat..” dan mengakhirinya dengan Hadis: “Kalimatain khafifatain ‘ala ‘lisaan: Subhanallahil Adzim..”. Beliau memang masyhur sebagai ulama Hadis, tetapi sungguh sangat dzalim ketika kita hanya mengklaim beliau sebagai pakar satu spesialisasi saja dalam ilmu syari’ah menurut istilah akademik yang dibuat oleh kaum intelektual sekarang. Imam Bukhari menurut hemat penulis adalah seorang pakar semua disiplin Islam; dari tafsir, Hadis, fikih, aqidah, tasawuf, sejarah, bahasa… dst. Keistimewaan dalam satu bidang hanyalah merupakan pilihan utama studi atau sebuah tuntutan kondisi. Demikian halnya dengan 4 khalifah Arrasyidin, 4 imam madzhab fikih dan yang setara mereka. Seperti Khalifah Umar r.a bukanlah seorang politikus saja melainkan sekaligus sebagai penguasa, da’i, murabbi, fakih dan lain-lain. Imam Abu Hanifah adalah seorang fakih, da’i, sufi, politikus dan bukan seorang yang melakukan studi fikih saja. Karena mereka meminum langsung dari Alqur’an dan Sunnah, sehingga dapat meninggalkan sejumlah ilmu pengetahuan dan berbagai kesan yang dapat membentuk masyarakat Islam yang matang, peka dan berprilaku lurus. Sesunggunya hubungan spiritual mereka dengan wahyu Ilahi dan pantulan cahaya Pembawa Risalah saw di dalam jiwa mereka, telah membuat mereka -walaupun tugas ilmiah dan praktis mereka berbeda-beda- sebagai ruhbanullail (ahli ibadah di malam hari), fursanunnahar (pekerja yang rajin di siang hari), jin dalam kemampuannya menerobos kehidupan dan malaikat dalam kepemimpinannya dengan nama Allah swt. Tipe manusia semacam ini lebih mulia dari sekedar di gelari atau diukur dengan berbagai gelar ilmiah modern. Kini jelas bagi anda, mengapa kita harus bertasawuf…? Semoga….
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar